Penggelapan Pajak

Penggelapan Pajak
1.   Pengertian
Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)

Untuk dapat membongkar kejahatan di bidang perpajakan, seperti kasus Asian Agri Group (AAG)” yang mencuat kepermukaan melalui pemberitaan media massa, empat lembaga pemerintah terkait yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Agung, PPATK dan KPK telah meningkatkan kerjasama dan koordinasi. Menurut Anung Karyadi dari Transparansi Internasional Indonesia, kerjasama dan koordinasi tersebut mutlak adanya guna menutup semua celah (loophole) yang mungkin bisa dimanfaatkan pelaku penggelapan pajak untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.

Selain itu, kerjasama dan koordinasi yang dilakukan keempat lembaga pemerintah tersebut diharapkan juga dapat menemukan alternative pengusutan ketika sebuah cara yang telah dilakukan mengalami kebuntuan. Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam penanganannya tidak selalu salam. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak, penyelesaiannya boleh di luar persidangan UU KUP memberi peluang kepada pelaku penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan Negara atas permintaan Menteri Keuangan. Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.

Selain kasus AAG, dugaan terjadinya tindak kejahatan bidang perpajakan lain yang cukup menarik perhatian kita adalah kasus manipulasi pajak hingga ratusan miliar rupiah dengan tempat kejadian perkara di Kabupaten Karawang, yang melibatkan oknum petugas Ditjen Pajak, konsultan pajak dan wajib pajak perusahaan. Perkiraan sementara, modus operandinya dengan ketentuan menghitung pajak sendiri (MPS). Kasus ini berawal dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisisi Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai adanya transfer uang sebesar US$500,000 (sekitar Rp. 4,5 milyar) ke rekening sebuah bank BUMN atas nama seorang oknum pegawai Ditjen Pajak berinisiatil “YH”. Hingga saat ini, penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terus mengembangkan kasus tersebut dengan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat. Kalau kasus ini dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik, maka untuk pertama kalinya Indonesia mampu membongkar tindak kejahatan di bidang perpajakan yang melibatkan banyak pihak dan keberhasilan kita mengembalikan kekayaan Negara (asset forfeiture) dalam jumlah yang cukup signifikan.

Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan wajib pajak. Dalam praktik bisa terjadi misalnya wajib pajak hanya membayar 50% dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya “dikantongi” oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang 25% lagi yang disetorkan ke kas Negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang Negara bisa mencapai 75%. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yung semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah Negara-negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.

Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan Negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan Negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat di cegah dan di berantas. Sejalan dengan itu, hasil kejahatannya di sita oleh Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


2.   Perundang-Undangan
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:


1.                  Penegakkan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-
2.                  Penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan, sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.

Berikut ringkasan beberapa pasal dalam KUP yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan diantaranya:

Pasal 38:
 Perbuatan alpa dalam pidana pajak, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.

Pasal 39 Ayat (1)Perbuatan sengaja :

·                     Tidak mendaftarkan diri;
·                     Menyalahgunakan NPWP/NPPKP;
·                     Tidak menyampaikan SPT;
·                     Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap;
·                     Menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
·                     Memperlihatkan pembukuan palsu/dipalsukan;
·                     Tidak menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan Pembukuan;
·                     Tidak menyimpan buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP;
·                     Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut,
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Penjara minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali maksimal 4 kali jumlah pajak  yang terutang/kurang dibayar

Pasal 39 ayat (2) Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana

Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :

·                     Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP.
·                     Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
(Dalam rangka mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak), sanksi Pidana Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda Minimal 2 Kali Maksimal 4 Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak.

Pasal 39A Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.

Pasal 41A Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).

Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :


·                     Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
·                     Setiap orang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1), pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
·                     Setiap orang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks. Rp800.000.000,00
·                     Setiap orang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.

Pasal 43: Penyertaan Perbuatan Pidana,

1.                  Ketentuan sebagaimana  pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
2.                  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak:

·                     saat terutangnya pajak, 
·                     berakhirnya Masa Pajak, 
·                     berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau 
·                     berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal 34: Rahasia Jabatan: 
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.

Kecuali pejabat dan tenaga ahli :

·                     sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
·                     ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Sanksi karena :

1.                  ALPA: Pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, dan denda setinggi-tingginya  Rp25.000.000,00
2.                  SENGAJA : Pidana Penjara selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya  Rp50.000.000,00
Pasal 36A: Pegawai Pajak yang:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;

dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:

1.                  memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, 
2.                  untuk membayar atau 
3.                  menerima pembayaran, atau 
4.                  untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, 
diancam dengan pidana Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan perubahannya.


3.   Contoh Kasus dan Penyelesaian
A. Sosok Dhana Widyatmika, seorang mantan PNS Ditjen Pajak, yang menjadi tersangka kasus korupsi yang telah ditetapkan oleh kejaksaan agung yang pemberitaannya kini mengemuka di media massa. Dhana Widyatmika disebut-sebut sebagai The Next Gayus, karena memiliki rekening dibeberapa bank yang jumlahnya miliaran. Identitas Dhana Widyatmika sendiri terungkap dari informasi Kabag Humas dan TU Ditjen Imigrasi Maryoto Sumadi. Ketika wartawan detikFinance mengkonfirmasikan mengenai identitas yang sebelumnya disingkat dengan DW, maka Maryoto Sumadi membenarkan nama Dhana Widyatmika masuk dalam daftar cekal di imigrasi.
Berdasarkan laporan yang dilansir oleh DetikFinance, menyebutkan bahwa Dhana Widyatmika merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Setelah melanjutkan program sarjana, dia meneruskan studi pasca sarjana di Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).  Setelah lulus STAN, Dhana mulai bekerja di Ditjen Pajak pada tahun 1996. Karirnya berkembang terus. Pada 2011, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Dhana Widyatmika menjabat sebagai Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam.
Dhana Widyatmika merupakan PNS golongan III/c dengan pangkat penata. Ia kini berusia 37 tahun. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany mengungkapkan ‘The Next Gayus’ ini tidak lagi menjadi pegawai pajak. Karena, atas keinginannya sendiri Dhana Widyatmika ini meminta pindah ke instansi lain. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Dhana Widyatmika dituntut hukuman 12 tahun penjara untuk tiga perbuatan pidana oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung. Selain hukuman penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diminta menjatuhi hukuman membayar denda Rp 1 miliar dan subsider kurungan enam bulan.  Dhana dianggap terbukti melakukan tiga perbuatan pidana.
Pertama, tindak pidana korupsi menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp 2,75 miliar. Perbuatan pertama Dhana tersebut diuraikan jaksa dalam dakwaan primer dan subsider. Dakwaan primer memuat Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, sedangkan dakwaan subsidernya memuat Pasal 11 undang-undang yang sama. Menurut jaksa, pada 11 Januari 2006, Dhana menerima uang dari Herly Isdiharsono senilai Rp 3,4 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Mandiri Cabang Nindya Karya, Jakarta. Penerimaan uang 3,4 miliar itu berkaitan dengan penerimaan melawan hukum, yaitu mengurangi kewajiban pajak PT Mutiara Virgo. Kemudian, sebanyak Rp 1,4 miliar dari uang tersebut digunakan Dhana untuk membayar rumah atas nama Herly Isdiharsono. Sedangkan sisanya, Rp 2 miliar, dipakai untuk kepentingan pribadi Dhana. Adapun Herly ikut ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Atas bantuan para pegawai pajak tersebut, PT Mutiara Virgo hanya membayar Rp 30 miliar dari nilai Rp 128 miliar yang seharusnya. Adapun total uang yang dikucurkan PT Mutiara Virgo melalui direkturnya, Jhonny Basuki, ke para pegawai pajak tersebut mencapai Rp 20,8 miliar. Kejaksaan Agung pun menetapkan Jhonny sebagai tersangka kasus ini. Kemudian, pada 10 Oktober 2007, Dhana kembali menerima uang gratifikasi senilai Rp 750 juta dari pencairan cek perjalanan di Bank Mandiri Cabang Nindya Karya.
Kedua, Dhana terbukti melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar. Dhana terbukti melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dakwaan primer memuat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider, memuat Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor. Atau, dakwaan kedua, dua, primer yang memuat Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan subsidernya memuat Pasal 12 huruf g undang-undang yang sama. Menurut tim JPU Kejaksaan Agung, Dhana bersama-sama dengan Salman Magfiron sengaja menggunakan data eksternal sebagai dasar perhitungan pajak PT Kornet Trans Utama, sehingga pajak yang harus dibayarkan perusahaan tersebut menjadi lebih tinggi. Dhana dan Salman pun mengadakan pertemuan dengan Direktur PT Kornet Trans Utama, Lee Jung Ho atau Mr Leo, yang intinya menawarkan bantuan untuk mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan perusahaan tersebut dengan meminta imbalan Rp 1 miliar. Namun, permintaan imbalan tersebut diacuhkan PT Kornet. Perusahaan itu kemudian mengajukan keberatan melalui Pengadilan Pajak yang hasilnya memenangkan PT Kornet. Atas kemenangan perusahaan tersebut, Dhana dianggap merugikan negara Rp 1,2 miliar atau paling setidak-tidaknya Rp 241.000.
Ketiga, terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurut jaksa, Dhana menerima uang dari tindak pidana korupsi yang selanjutnya secara bertahap ditransaksikan dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul hartanya. Hal tersebut, kata Jaksa, dilakukan Dhana dengan sejumlah cara.
Cara pertama, dengan transaksi perbankan secara bertahap. Dhana memasukkan uang yang dimilikinya ke berbagai rekening, di antaranya, Bank CIMB Niaga Cabang Jakarta sekitar Rp 4 miliar, Bank HSBC Cabang Jakarta Kelapa Gading sekitar Rp 2,6 miliar, Bank Standard Chartered sekitar 271.000 dollar AS, Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol Rp 474.000, CIMB Niaga Jakarta Sudirman sebesar Rp 54 juta dan Rp 30.000 dollar AS, kemudian Bank BCA Cabang Kalimalang sekitar Rp 4,1 miliar.
Cara kedua, dengan membelanjakan uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut untuk membeli logam mulia seberat 1.100 gram yang kemudian disimpan dalam safe deposite box Bank Mandiri Cabang Mandiri Plaza, Jakarta.
Cara ketiga, membelanjakan uangnya untuk membeli tanah dan properti. Keempat, menyembunyikan uang dalam beberapa mata uang asing. Kelima, membeli barang-barang berharga. Keenam, membeli kendaraan bermotor uang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo88, menginvestasikan hartanya pada bidang properti.
Sebelumnya, dalam dakwaan, Dhana terancam maksimal 20 tahun penjara. Jaksa mengatakan, terdapat hal-hal yang memberatkan dan meringankan Dhana.  Adapun hal yang meringakan karena berusia relatif muda sehingga diharapkan memperbaiki perbuatan. Dhana akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Dhana Widyatmika akan mengajukan sendiri dan penasihat hukum juga akan mengajukan sendiri. Majelis hakim memberikan waktu satu minggu untuk mempersiapkan pleidoi. Sidang lanjutan akan dilaksanakan Senin 29 Oktober 2012.
1.     Kesimpulan
Seharusnya kasus sebelumnya seperti kasus Gayus, sudah menjadi pelajaran bagi Indonesia bahwa lemahnya perhatian yang dilakukan pihak yang berwenang terhadap kasus pajak sebelumnya. Kasus pajak ini bisa mencoret nama baik pegawai pajak lain yang tidak melakukan penggelapan pajak seperti yang dilakukan Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika. Tidak semua pegawai pajak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para penggelap pajak yang disebut kan di atas.
Kasus yang dilakukan Dhana ini, sangat merugikan Negara Indonesia. Kasus ini masih baru, sehingga diharapkan kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi bangsa kita atau bagi pemeriksa agar dapat memperhatikan orang-orang yang mencurigakan melakukan penggelapan. Diharapkan kasus penggelapan lain, diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan cepat tanpa menunggu lama.
Atas kasus Dhana, Kejagung menetapkan empat orang tersangka. Herly Isdiharsono, rekan Dhana di PT Mitra Modern Mobilindo dan Johny Basuki, wajib pajak PT Mutiara Virgo yang sempat buron. Kemudian Firman dan Salman Maghfiron, atasan dan bawahan Dhana di KPP Pancoran I saat menangani PT Kornet Trans Utama.
Kasus skandal pajak juga menyebut nama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Gayus diperiksa Kejaksaan Agung Republik Indonesia saksi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang atas kasus korupsi dan pencucian uang, Dhana Widyatmika Merthana. Kejagung menilai ada konspirasi antara mantan pegawai Ditjen pajak Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika Mertahana, dengan wajib pajak PT Kornet Trans Utama (KTU). Negara dinyatakan kalah, usai PT KTU menang di pengadilan banding. Sampai saat ini kasus Dhana masih berlanjut.

B.     DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin. 

Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.
Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini,  bisa diketahui berbagai hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.
Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada  PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri,  nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.    Komponen biaya merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut.  Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun tersangka.
          
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan tersebut,  mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak dengan alasan sedang sakit.  “Kami sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.
Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate governancediharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor.



C. UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK

Pajak adalah salah satu tiang yang sangat penting bagi perekonomian di sebuah Negara. Tanpa pajak, Negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula, pemerintah mustahil bisa menggaji para pegawai dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, pemerintah harus sangat serius dalam menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa buktinya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.
Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan pajak yang dilakukan oleh kelompok usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa sulitnya bertindak tegas terhadap wajib pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung terjadi adalah pemeerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap mereka. Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp 376 Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300 Milyar.
Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan kasus itu, sehingga kini muncul kembali dengan persoalan yang lebih kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan group Bakrie dalam kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar 2,1 Triliun itu adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia) Anak perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4 kali lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5 Triliun.
Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat. Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara. Diharapkan pemerintah segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang tegas.
Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated. Disatu satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah usang. Dan dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk. Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan sector pengetahuan ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri.

Konsekuensi logisnya, tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela terjadinya praktek bisnis yang tidak fair. Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli, kartel, pemberian fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu atau dua konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap menyuap dan lobi yang kental, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan termasuk juga adanya dugaan skandal penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dibawah naungan Bakri Group. Hal ini menandakan hukum bisnis tidak berperan, baik karena kevakuman, kebobrokan atau ketidak jelasan aturan main, atau karena Law Enforcement nya yang kurang sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan berhadapan dengan sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran. Upaya untuk melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan tetap memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara represif, Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar modal.
Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan adalah berupa “kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati). Ini berarti sebagaiGeneral Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang terlibat di pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila padanya terdapat unsur kesalahan.

Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud kejahatan dan pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab tersebut berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek, maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose), atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber dari suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan berwujud ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam bentuk kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan bakri Group juga dapat dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam bidang keuangan, maka akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam bidang hukum, konsultan hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung jawab profesi penunjang juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai tanggung jawab “berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya, tanggung jawab mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar. Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab yang berat, mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi saham, dan dia pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum. Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran, maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya, sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana untuk timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal mampu mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar modal khususnya penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan melalui hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam aturan di pasar modal.

Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan skandal penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang praperadilan Prasetyo tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.  
Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu 2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia hukum.  Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif melakukan penyelidikan dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut perusahaan publik, yang seharusnya semua  laporan keuangannya terbuka. Kalau benar ada penggelapan pajak,  berarti ada yang disembunyikan dari publik.


Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group,perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan  dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.
Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih (voters).


http://goesur25.blogspot.co.id/2013/09/tugas-makalah-penggelapan-pajak.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siklus Hidup Produk Rokok (DJIE SAM SOE)

TUGAS 3 IF CONDITIONAL