Tugas Review Jurnal 3
PENGARUH PENERAPAN IFRS TERHADAP KINERJA BANK
MELALUI TATA KELOLA PERBANKAN YANG BAIK
MELALUI TATA KELOLA PERBANKAN YANG BAIK
1 Caecilia Widi Pratiwi
2 Rini Tesniwati
Abstrak
Era globalisasi membawa dampak diperlukannya standar akuntansi global yang sama antara semua Negara. Dengan standar yang baik dan tata kelola yang baik, maka diharapkan kinerja perusahaan juga akan semakin baik. Perusahaan perbankan merupakan perusahaan yang paling banyak aturannya. Hal ini terjadi karena perbankan mengandalkan kepercayaan nasabah terhadap bank, untuk kelangsungan usahanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan standar akuntansi internasional (IFRS) di sektor perbankan berpengaruh terhadap CAR dan ROA bank, melalui GCG. Tiga variabel yang dimuat yaitu penerapan IFRS diproksi dengan penerapan PSAK 16 (revisi 2007), GCG diproksi dengan indeks komposit GCG, kinerja bank diproksi dengan CAR dan ROA. Survei dilakukan terhadap 22 bank umum yang aktif di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Unit analisis adalah laporan tahunan emiten bank periode 2007-2011, yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal, Indonesia Capital Market Directory, Bank Indonesia dan Laman Bank. Data sekunder yang terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif dan verifikatif terhadap tiga hipotesis menggunakan analisa jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan IFRS dapat meningkatkan GCG dan ROA perbankan publik di Indonesia, dan penerapan IFRS melalui GCG dapat meningkatkan ROA perbankan publik di Indonesia.
Era globalisasi membawa dampak diperlukannya standar akuntansi global yang sama antara semua Negara. Dengan standar yang baik dan tata kelola yang baik, maka diharapkan kinerja perusahaan juga akan semakin baik. Perusahaan perbankan merupakan perusahaan yang paling banyak aturannya. Hal ini terjadi karena perbankan mengandalkan kepercayaan nasabah terhadap bank, untuk kelangsungan usahanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan standar akuntansi internasional (IFRS) di sektor perbankan berpengaruh terhadap CAR dan ROA bank, melalui GCG. Tiga variabel yang dimuat yaitu penerapan IFRS diproksi dengan penerapan PSAK 16 (revisi 2007), GCG diproksi dengan indeks komposit GCG, kinerja bank diproksi dengan CAR dan ROA. Survei dilakukan terhadap 22 bank umum yang aktif di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Unit analisis adalah laporan tahunan emiten bank periode 2007-2011, yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal, Indonesia Capital Market Directory, Bank Indonesia dan Laman Bank. Data sekunder yang terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif dan verifikatif terhadap tiga hipotesis menggunakan analisa jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan IFRS dapat meningkatkan GCG dan ROA perbankan publik di Indonesia, dan penerapan IFRS melalui GCG dapat meningkatkan ROA perbankan publik di Indonesia.
PENDAHULUAN
Globalisasi
perdagangan antar negara dan operasional perusahaan multinasional menuntut
kebutuhan adanya suatu standar akuntansi yang berlaku luas di seluruh dunia.
Beberapa alasan perlunya penerapan Standar Akuntansi Internasional (SAI)
adalah: (1) untuk meningkatkan transparansi, (2) laporan keuangan dapat lebih
diperbandingkan, (3) kualitas laporan keuangan lebih baik, (4) kian rendahnya
biaya penyajian laporan keuangan, (5) efisiensi dalam pengambilan keputusan
investasi dan (6) semakin rendahnya biaya modal perusahaan (Tarca, 2004).
Standar akuntansi yang berlaku global tersebut disebut dengan International
Financial Reporting Standard (IFRS). IFRS merupakan standar akuntansi global
yang telah diterima dan didukung lebih dari 120 negara serta badan/organisasi
internasional. Langkah strategis menuju keseragaman pelaporan keuangan di
sektor swasta ini merupakan agenda utama Profesi Akuntan skala global (Ikatan
Akuntan Indonesia, 2012). Sektor perbankan merupakan salah satu sektor industri
dari 9 sektor industri yang terdaftar di BEI. Sektor perbankan mempunyai jumlah
perusahaan yang terdaftar di BEI relatif sedikit, tetapi market
capitalizationnya merupakan yang terbesar dari 9 sektor industri. Demikian juga
total perdagangan sahamnya, merupakan nomor 2 dari 9 sektor industry (IDX,
2011). Sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia, modal merupakan hal yang
sangat pentting bagi dunia perbankan. Mengingat pentingnya permodalan pada
bank, Bank Indonesia mengacu pada BIS (Bank for International Settlements).
Pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih
dikenal dengan The 1988 Accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan
kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal
minimum adalah 8% (Bank Indonesia, 2011). Sejalan dengan semakin berkembangnya
produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka
permodalan yang ada pada The 1988 Accord dengan mengeluarkan Basel II, dan
Basel III. Dalam rangka memperkuat upaya perlindungan konsumen dan mempertegas
pengaturan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih
daya), Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 8/4/PBI/2006
tentang pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) bagi Bank Umum. Kajian mengenai
corporate governance meningkat pesat seiring dengan munculnya skandal keuangan
berskala besar seperti skandal Enron, Tyco, WorldCom, Maxwell, dan PolyPeck.
Industri perbankan merupakan industri “kepercayaan”. Apabila kepercayaan
investor berkurang karena laporan keuangan yang mengandung tindakan manajemen
laba, maka mereka akan melakukan penarikan dana secara bersama-sama yang dapat
mengakibatkan rush. Oleh karena itu, perlu suatu mekanisme untuk meminimalkan
fraud yang dilakukan oleh entitas perbankan. Salah satu mekanisme yang dapat
digunakan adalah praktik GCG. Pelaksanaan GCG secara empiris dipengaruhi oleh
struktur organisasi internal suatu perusahaan dan pelaksanaan GCG yang baik
akan meningkatkan kinerja perusahaan (Ediraras dan Pratiwi, 2006). Berdasarkan
uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: Apakah
penerapan IFRS melalui GCG akan meningkatkan CAR dan ROA emiten perbankan di
pasar modal Indonesia?
METODE PENELITIAN
Objek
Penelitian
Objek
penelitian dalam penelitian ini adalah penerapan IFRS, GCG, CAR dan ROA. Unit
penelitiannya adalah semua perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan (Tabel 1). Unit analisisnya adalah laporan
keuangan periode 2007-2011. Perusahaan yang dipergunakan adalah perusahaan
Perbankan yang mempublikasikan laporan keuangannya di BEI. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa PSAK No 16 direvisi dalam rangka konvergensi dengan IAS-IFRS
16, selesai tahun 2006 dan efektif berlaku per 1 Januari 2007, sedangkan laporan
keuangan 2012 baru masuk tahap pengauditan.
Jenis
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan tahunan bank yang telah diaudit oleh auditor independen yang bersumber dari Indonesia Capital Market Directory (ICMD), Indonesia Stock Exchange (IDX), Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktori Perbankan Indonesia, dan data transaksi perdagangan saham-saham emiten perbankan di BEI.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan tahunan bank yang telah diaudit oleh auditor independen yang bersumber dari Indonesia Capital Market Directory (ICMD), Indonesia Stock Exchange (IDX), Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktori Perbankan Indonesia, dan data transaksi perdagangan saham-saham emiten perbankan di BEI.
Target
Populasi dan Sampling
Penelitian ini menggunakan purposive judgment sampling untuk menentukan target populasi penelitian. Pada tahun 2012, terdapat 35 entitas perbankan yang terdaftar di BEI. Berdasarkan syarat tersebut di atas, maka emiten perbankan di BEI yang memenuhi kriteria sebagai unit penelitian diperoleh sebanyak 22 bank.
Penelitian ini menggunakan purposive judgment sampling untuk menentukan target populasi penelitian. Pada tahun 2012, terdapat 35 entitas perbankan yang terdaftar di BEI. Berdasarkan syarat tersebut di atas, maka emiten perbankan di BEI yang memenuhi kriteria sebagai unit penelitian diperoleh sebanyak 22 bank.
Variabel
dan Pengukurannya
Ada 2
variabel penelitian yang dipergunakan yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas terdiri dari variabel penerapan IFRS dan GCG. Variabel
terikat terdiri dari variabel CAR dan ROA.
Penerapan
IFRS
Variabel IFRS merupakan variabel dummy, bernilai 1 untuk perusahaan yang sudah menerapkan IFRS dan 0
untuk perusahaan yang belum menerapkan IFRS. Untuk mengetahui perusahaan sudah menerapkan IFRS atau belum dilihat dari penerapan PSAK 16 (IAS 16) mengenai aktiva tetap. Perusahaan yang sudah menerapkan IFRS akan mengungkapkan informasi tersebut dalam catatan kaki atas laporan keuangannya.
Variabel IFRS merupakan variabel dummy, bernilai 1 untuk perusahaan yang sudah menerapkan IFRS dan 0
untuk perusahaan yang belum menerapkan IFRS. Untuk mengetahui perusahaan sudah menerapkan IFRS atau belum dilihat dari penerapan PSAK 16 (IAS 16) mengenai aktiva tetap. Perusahaan yang sudah menerapkan IFRS akan mengungkapkan informasi tersebut dalam catatan kaki atas laporan keuangannya.
Good
Corporate Governance
GCG
adalah tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip transparency,
accountability, responsibility, independency dan fairness (Peraturan Bank
Indonesia no 8/4/PBI/2006). Penilaian GCG memuat 11 kriteria penilaian untuk
GCG (SEBI Nomor: 9/12/DPNP Tanggal 30 Mei 2007). Dalam penetapan predikat,
perlu diperhatikan batasan berikut : peringkat faktor GCG dikategorikan dalam 5
(lima) peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan
Peringkat 5.
PEMBAHASAN
Hipotesis
1 : Penerapan IFRS Meningkatkan GCG Emiten Perbankan yang Terdaftar di BEI
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan nilai p sebesar 0,028 di bawah 0,05 dan nilai estimate -0.21. Dari hasil tersebut berarti hipotesis mengenai penerapan IFRS meningkatkan GCG emiten perbankan yang terdaftar di BEI diterima. Nilai estimate negative mengindikasikan bahwa penerapan IFRS menurunkan nilai GCG, yang diproksi dengan nilai komposit self assessment GCG di sektor perbankan. Semakin kecil nilai komposit GCG menandakan bahwa semakin baik GCG di bank tersebut. Penerapan IFRS dapat meningkatkan tata kelola yang baik dari entitas perbankan di BEI. Hal ini disebabkan oleh adanya peraturan-peraturan dalam PSAK di Indonesia sangat mendukung terlaksananya tata kelola yang baik dari perusahaan. Beberapa PSAK yang mendukung prinsip GCG diantaranya adalah PSAK 1, yang mengharuskan perusahaan membuat laporan keuangan secara komprehensif. PSAK 50/55 (revisi 2006) adalah PSAK yang mengatur pencadangan kredit bermasalah. Pernyataan akuntansi tersebut menekankan pada objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dari kredit yang diberikan. Besarnya CKPN dihitung berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya keharusan penilaian debitur secara individual (IAI, 2012). Ketentuan ini mengharuskan entitas perbankan untuk membuat data debitur secara terinci, termasuk historis pembayaran debitur 3 tahun sebelumnya. Dengan adanya penilaian dan pelaporan secara individu dari masing-masing debitur ini, maka transparansi perlakuan terhadap debitur menjadi lebih baik. enerapan prinsip-prinsip GCG juga didukung oleh adanya PSAK 16 (revisi 2007) mengenai penilaian aset tetap. Sebelum menerapkan PSAK adopsi IFRS, aset tetap diukur dengan harga perolehan, yang merupakan penerapan historical cost. Akibat dari penerapan ini adalah aset tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya pada saat laporan keuangan dibuat. Berdasarkan PSAK adopsi IFRS, perusahaan diperbolehkan menggunakan fair value untuk menilai asetnya, sehingga nilai yang terdapat di neraca lebih akurat dan akuntabel. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Verriest et al. (2012), tetapi tidak sesuai dengan Major and Marques (2009).
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan nilai p sebesar 0,028 di bawah 0,05 dan nilai estimate -0.21. Dari hasil tersebut berarti hipotesis mengenai penerapan IFRS meningkatkan GCG emiten perbankan yang terdaftar di BEI diterima. Nilai estimate negative mengindikasikan bahwa penerapan IFRS menurunkan nilai GCG, yang diproksi dengan nilai komposit self assessment GCG di sektor perbankan. Semakin kecil nilai komposit GCG menandakan bahwa semakin baik GCG di bank tersebut. Penerapan IFRS dapat meningkatkan tata kelola yang baik dari entitas perbankan di BEI. Hal ini disebabkan oleh adanya peraturan-peraturan dalam PSAK di Indonesia sangat mendukung terlaksananya tata kelola yang baik dari perusahaan. Beberapa PSAK yang mendukung prinsip GCG diantaranya adalah PSAK 1, yang mengharuskan perusahaan membuat laporan keuangan secara komprehensif. PSAK 50/55 (revisi 2006) adalah PSAK yang mengatur pencadangan kredit bermasalah. Pernyataan akuntansi tersebut menekankan pada objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dari kredit yang diberikan. Besarnya CKPN dihitung berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya keharusan penilaian debitur secara individual (IAI, 2012). Ketentuan ini mengharuskan entitas perbankan untuk membuat data debitur secara terinci, termasuk historis pembayaran debitur 3 tahun sebelumnya. Dengan adanya penilaian dan pelaporan secara individu dari masing-masing debitur ini, maka transparansi perlakuan terhadap debitur menjadi lebih baik. enerapan prinsip-prinsip GCG juga didukung oleh adanya PSAK 16 (revisi 2007) mengenai penilaian aset tetap. Sebelum menerapkan PSAK adopsi IFRS, aset tetap diukur dengan harga perolehan, yang merupakan penerapan historical cost. Akibat dari penerapan ini adalah aset tidak menggambarkan nilai yang sebenarnya pada saat laporan keuangan dibuat. Berdasarkan PSAK adopsi IFRS, perusahaan diperbolehkan menggunakan fair value untuk menilai asetnya, sehingga nilai yang terdapat di neraca lebih akurat dan akuntabel. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Verriest et al. (2012), tetapi tidak sesuai dengan Major and Marques (2009).
Hipotesis
2 : Penerapan IFRS Meningkatkan Kinerja Keuangan Emiten Perbankan di BEI
Melalui GCG
Secara langsung, penerapan IFRS tidak meningkatkan kinerja keuangan emiten perbankan di BEI. Hal ini ditunjukkan dari nilai p-value CAR sebesar 0,175 estimates sebasar -0,13dan p-value ROA sebesar 0,133 estimates 0,14. Kedua nilai p-value tersebut ≥ 0,05, sehingga hipotesis ditolak. Secara empiris penerapan IFRS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CAR dan ROA emiten perbankan di BEI. Rerata CAR mengalami penurunan setelah penerapan IFRS salah satunya diakibatkan penerapan PSAK 16, 50 dan 55. Adanya penerapan PSAK 16 menyebabkan bertambahnya nilai aktiva yang diikuti dengan bertambahnya biaya penyusutan. Hal ini menyebabkan laba perusahaan yang merupakan salah satu komposisi modal menjadi berkurang. Penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) berdampak besar terhadap entitas perbankan. PSAK 50/55 (revisi 2006) merupakan standar akuntansi yang sangat kompleks penerapannya, terutama untuk entitas perbankan. Dampak utama dari penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) adalah dalam pencadangan kredit bermasalah, dimana penekanannya adalah pada objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dari kredit yang diberikan, yang harus berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya keharusan valuasi debitur secara individual. Jika diterapkan dengan benar maka penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) dapat meningkatkan akurasi dan keinformatifan CKPN. Penerapan IFRS tidak meningkatkan ROA. Di Indonesia, penerapan IFRS dapat mengakibatkan nilai aset menjadi lebih besar. Adanya penerapan PSAK 16 dan 17 menyebabkan bertambahnya nilai aktiva yang diikuti dengan bertambahnya biaya penyusutan. Hal ini menyebabkan laba perusahaan menjadi berkurang. Meskipun demikian, menurut beberapa praktisi perbankan, perubahan yang diakibatkan penerapan PSAK 16 ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bank. Hal ini disebabkan karena untuk entitas perbankan, aktiva tetap bukan merupakan penyumbang terbesar nilai aktiva perusahaan. Bank lebih memilih menyewa aktiva tetap (misalnya bangunan) daripada membangun sendiri, karena lebih efisien. Oleh karena itu penerapan IFRS tidak berpengaruh terhadap ROA entitas perbankan. Hasil pelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bartov, E (2004), tetapi tidak sesuai dengan Iatridis, G (2010) dan Mingyi, H and Subramanyam (2004).
Secara langsung, penerapan IFRS tidak meningkatkan kinerja keuangan emiten perbankan di BEI. Hal ini ditunjukkan dari nilai p-value CAR sebesar 0,175 estimates sebasar -0,13dan p-value ROA sebesar 0,133 estimates 0,14. Kedua nilai p-value tersebut ≥ 0,05, sehingga hipotesis ditolak. Secara empiris penerapan IFRS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap CAR dan ROA emiten perbankan di BEI. Rerata CAR mengalami penurunan setelah penerapan IFRS salah satunya diakibatkan penerapan PSAK 16, 50 dan 55. Adanya penerapan PSAK 16 menyebabkan bertambahnya nilai aktiva yang diikuti dengan bertambahnya biaya penyusutan. Hal ini menyebabkan laba perusahaan yang merupakan salah satu komposisi modal menjadi berkurang. Penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) berdampak besar terhadap entitas perbankan. PSAK 50/55 (revisi 2006) merupakan standar akuntansi yang sangat kompleks penerapannya, terutama untuk entitas perbankan. Dampak utama dari penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) adalah dalam pencadangan kredit bermasalah, dimana penekanannya adalah pada objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dari kredit yang diberikan, yang harus berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya keharusan valuasi debitur secara individual. Jika diterapkan dengan benar maka penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) dapat meningkatkan akurasi dan keinformatifan CKPN. Penerapan IFRS tidak meningkatkan ROA. Di Indonesia, penerapan IFRS dapat mengakibatkan nilai aset menjadi lebih besar. Adanya penerapan PSAK 16 dan 17 menyebabkan bertambahnya nilai aktiva yang diikuti dengan bertambahnya biaya penyusutan. Hal ini menyebabkan laba perusahaan menjadi berkurang. Meskipun demikian, menurut beberapa praktisi perbankan, perubahan yang diakibatkan penerapan PSAK 16 ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bank. Hal ini disebabkan karena untuk entitas perbankan, aktiva tetap bukan merupakan penyumbang terbesar nilai aktiva perusahaan. Bank lebih memilih menyewa aktiva tetap (misalnya bangunan) daripada membangun sendiri, karena lebih efisien. Oleh karena itu penerapan IFRS tidak berpengaruh terhadap ROA entitas perbankan. Hasil pelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bartov, E (2004), tetapi tidak sesuai dengan Iatridis, G (2010) dan Mingyi, H and Subramanyam (2004).
Penerapan
IFRS Meningkatkan Kinerja Keuangan Emiten Perbankan di BEI Melalui GCG
Hasil
pengujian hipotesis yang berbunyi penerapan IFRS meningkatkan kinerja keuangan
emiten perbankan di BEI melalui GCG diterima. Hasil penelitian ini berarti
bahwa penerapan IFRS melalui pelaksanaan GCG tidak meningkatkan CAR dan ROA.
Hal ini disebabkan karena perhitungan CAR lebih dipengaruhi oleh faktor lain
dibandingkan pengaruh oleh penerapan PSAK hasil adopsi IFRS. Berdasarkan hasil
diskusi dengan praktisi perbankan, besar kecilnya nilai CAR ditentukan oleh
nilai minimum CAR dari BI dan kebijakan ekspansi kredit yang dilakukan oleh
bank. Apabila nilai CAR sudah mendekati nilai minimum maka pihak manajemen bank
akan menahan ekspansi kredit. Hal ini dilakukan karena ekspansi kredit tidak
menaikkan modal tetapi menaikkan ATMR, sehingga nilai CAR menjadi turun. Dari
ulasan di atas, terlihat bahwa besar kecilnya CAR tidak dipengaruhi oleh
penerapan PSAK hasil adopsi IFRS maupun penerapan GCG yang baik. Penerapan IFRS
hasil adopsi IFRS semakin meningkatkan transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan fairness perusahaan. Dengan meningkatnya
indikator GCG tersebut maka fraud atau kecurangan manajemen bisa dikurangi.
Fraud yang berkurang membuat kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Major and marques (2009) dan
Anggraita (2012) yang menyatakan bahwa kualitas laba perusahaan tergantung pada
mekanisme corporate governance baik eksternal (sistem hukum, legal enforcement,
regulasi, kualitas audit) maupun internal (dewan komisaris, komite audit,
struktur kepemilikan).
SIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
yang bisa ditarik dari pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Penerapan PSAK hasil adopsi IFRS meningkatkan GCG bank-bank publik di Indonesia. Laporan keuangan bank-bank yang sudah menerapkan PSAK hasil adopsi IFRS mempunyai daya banding, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peraturanperaturan dalam PSAK hasil adopsi IFRS yang mendukung pelaksanaan GCG, seperti PSAK 1, PSAK 16, PSAK 50 dan PSAK 55.
2.
Penerapan PSAK hasil adopsi IFRS secara langsung tidak meningkatkan CAR dan
ROA, tetapi melalui GCG penerapan PSAK hasil adopsi IFRS meningkatkan ROA.
Penerapan IFRS melalui GCG meningkatkan ROA. Hal ini membuktikan arti penting
GCG dalam meningkatkan kinerja perbankan.
http://alfin-fadil.blogspot.co.id/2016/04/tugas-review-jurnal-akuntansi.html
Komentar
Posting Komentar